Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah (PWI LS) kini menjadi salah satu ormas Islam yang tengah ramai diperbincangkan. Nama besarnya muncul bukan karena lamanya berdiri, tetapi karena keberaniannya bersuara dalam isu-isu sensitif seputar keagamaan, nasab, dan keulamaan. Namun di balik semangat perjuangan itu, ada kekhawatiran bahwa PWI LS bisa tergelincir menjadi seperti “Neo Khawarij” — kelompok yang merasa paling benar sendiri dan menolak semua pihak yang berbeda pandangan.
Apa Itu PWI LS?
PWI LS adalah singkatan dari Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah, sebuah organisasi masyarakat Islam yang lahir dari semangat menjaga nilai-nilai perjuangan Walisongo. PWI LS menegaskan diri sebagai gerakan yang berpihak kepada ajaran Islam Nusantara, menjunjung tinggi tradisi ulama, dan menolak segala bentuk penyimpangan akidah maupun pengkultusan nasab.
Secara umum, PWI LS berupaya meluruskan pandangan bahwa kemuliaan seseorang tidak bergantung pada keturunan atau gelar, melainkan pada ketakwaannya. Karena itu, organisasi ini banyak menyoroti klaim-klaim nasab tertentu yang dianggap tidak memiliki bukti kuat. Dari sinilah PWI LS mulai dikenal luas, baik karena idealismenya maupun karena sikap kerasnya terhadap pihak yang dianggap melenceng.
Sejarah Singkat PWI LS
PWI LS lahir sebagai respons terhadap keresahan sebagian umat Islam terhadap maraknya klaim kehormatan berdasarkan garis keturunan. Didirikan pada tahun 2023, organisasi ini menyatakan dirinya sebagai penjaga marwah ulama dan pewaris nilai-nilai perjuangan Walisongo. Dalam waktu singkat, PWI LS membentuk cabang di berbagai daerah dan menggelar kegiatan keagamaan, sosial, dan advokasi umat.
Namun perjalanan organisasi ini tidak selalu mulus. Beberapa sikap keras dan pernyataannya terhadap kelompok habib keturunan Arab menimbulkan kontroversi. Bahkan muncul ketegangan dengan sebagian ulama yang dianggap dekat dengan para habib. Di titik inilah muncul kekhawatiran bahwa semangat perjuangan PWI LS bisa bergeser menjadi eksklusif dan konfrontatif.
Peristiwa Tahkim Dumatul Jandal: Cermin Sejarah Umat Islam
Untuk memahami bahaya sikap ekstrem dalam organisasi keagamaan, kita perlu menengok kembali sejarah Islam klasik, khususnya peristiwa Tahkim di Dumatul Jandal.
Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, muncul perselisihan besar antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Gubernur Syam, Muawiyah bin Abu Sufyan. Konflik ini mencapai puncaknya dalam Perang Shiffin, yang kemudian dihentikan melalui kesepakatan damai atau arbitrase (tahkim) di daerah Dumatul Jandal.
Namun tahkim tersebut justru menimbulkan perpecahan. Sebagian pasukan Ali menolak hasil arbitrase dan menuduh beliau telah berkompromi dengan musuh. Dari sinilah lahir kelompok Khawarij, yaitu kelompok yang menolak kepemimpinan Ali dan menganggap siapa pun yang berbeda pendapat sebagai kafir. Sikap mereka ekstrem, menutup pintu dialog, dan akhirnya menimbulkan banyak pertumpahan darah dalam sejarah Islam.
Kaitan dengan Sikap PWI LS terhadap Kiai yang Mendukung Habaib
Di era sekarang, situasi yang mirip bisa muncul kembali dalam bentuk yang lebih halus. Misalnya, ketika PWI LS bersikap keras terhadap kiai atau ulama yang mendukung para habib. Ada anggapan bahwa siapa pun yang mendukung kelompok tertentu otomatis salah atau sesat. Padahal, tidak semua yang berbeda harus dimusuhi.
Jika PWI LS tidak berhati-hati, sikap seperti ini bisa menyerupai pola pikir Khawarij — menganggap diri paling benar dan menolak kerja sama dengan pihak lain. Padahal semangat Walisongo adalah dakwah yang damai, santun, dan menghormati perbedaan pandangan di antara sesama ulama.
Kiai yang mendukung habaib belum tentu setuju dengan seluruh pandangan mereka. Bisa jadi mereka hanya menjaga silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah. Maka memusuhi mereka tanpa dialog hanya akan memperlebar jurang perpecahan di tubuh umat Islam sendiri.
Bahaya Menjadi Neo Khawarij
Neo Khawarij bukan berarti kelompok bersenjata atau ekstrem fisik, tetapi pola pikir tertutup yang menolak perbedaan, merasa paling suci, dan menuduh pihak lain sebagai pengkhianat agama. Jika pola pikir ini dibiarkan hidup dalam tubuh PWI LS, maka organisasi yang seharusnya menjadi penjaga nilai Walisongo justru akan menjadi sumber perpecahan baru.
Khawarij dulu memerangi Ali bin Abi Thalib karena menilai beliau salah dalam tahkim, padahal mereka tidak memahami hikmah besar di balik kebijakan tersebut. Kini, jangan sampai PWI LS memusuhi para kiai hanya karena mereka punya pandangan berbeda tentang habib. Perbedaan adalah hal wajar dalam Islam, dan tidak sepatutnya dijawab dengan kebencian.
Jalan Moderasi: Kembali ke Spirit Walisongo
Walisongo berhasil menanamkan Islam di Nusantara bukan dengan kemarahan, tetapi dengan ilmu, kasih sayang, dan keteladanan. Inilah nilai yang seharusnya menjadi pegangan PWI LS.
Jika PWI LS ingin benar-benar menjadi penerus perjuangan Walisongo, maka yang perlu dijaga adalah semangat dialog, cinta tanah air, dan penghormatan terhadap ulama — termasuk mereka yang berbeda pandangan. Dengan jalan moderasi ini, PWI LS akan menjadi kekuatan besar yang menyejukkan, bukan menakutkan.
Kesimpulan
PWI LS memiliki potensi besar untuk menjadi ormas Islam yang membawa semangat kebangkitan Islam Nusantara. Namun potensi itu bisa hilang jika organisasi ini terjebak dalam sikap eksklusif dan merasa paling benar sendiri. Jangan sampai PWI LS menjadi “Neo Khawarij” — kelompok yang menolak perbedaan dan menebar permusuhan atas nama kebenaran.
Mari kembali pada nilai-nilai Walisongo: damai, santun, dan bijak dalam menyikapi perbedaan. Sebab musuh terbesar umat bukanlah sesama muslim, tetapi kesombongan dan kebencian yang tumbuh dalam hati sendiri.
#PWILS #IslamNusantara #Walisongo #OpiniIslam #NeoKhawarij
